Jakarta, Lingkar.news – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Marsekal TNI (Purn.) Hadi Tjahjanto mengumpulkan pejabat TNI, Polri, BIN, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pertahanan untuk rapat membahas perkembangan situasi di Papua.
Rapat koordinasi itu berlangsung secara tertutup di Kantor Kemenko Polhukam RI, Jakarta, Jumat, tetapi beberapa foto rapat dibagikan oleh Pusat Penerangan TNI dalam siaran resminya di Jakarta, Jumat.
Dalam foto-foto tersebut, beberapa pejabat yang mengikuti rapat antara lain Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo, Sekretaris Menko Polhukam Letjen TNI Teguh Pudjo Rumekso, Wakil Menteri Dalam Negeri Jhon Wempi Wetipo, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letjen TNI I Nyoman Cantiasa, Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI Mayjen TNI Yudi Abrimantyo, dan Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Komjen Pol. Suntana.
Sejauh ini, belum ada siaran resmi Kemenko Polhukam dan lembaga lainnya terkait isi pertemuan. Walaupun demikian, terkait penanganan situasi di Papua, Panglima TNI pada 5 April 2024 menginstruksikan perubahan penyebutan kelompok separatis di Papua yang semula kelompok separatis teroris/kelompok kriminal bersenjata (KST/KKB) menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Namun, Polri sejauh ini masih menyebut kelompok separatis itu sebagai KKB.
Terkait kebijakan Panglima itu, pengamat menilai perlu ada perubahan atas keputusan politik negara dalam menetapkan status kelompok separatis di Papua.
Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menjelaskan, tanpa perubahan keputusan politik negara, keputusan Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto mengubah penyebutan kelompok separatis dari kelompok separatis teroris (KST) menjadi OPM pun tak berarti apa-apa.
“Sepanjang tidak ada perubahan kebijakan dan keputusan negara, maka OMSP (operasi militer selain perang) TNI di Papua masih akan sama seperti sebelumnya, yaitu OMSP perbantuan pada Polri dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban,” kata Fahmi menjawab pertanyaan ANTARA saat dihubungi di Jakarta, Selasa (16/4).
Fahmi meyakini keputusan Panglima mengubah nomenklatur KST menjadi OPM dapat menjadi momen untuk melihat kembali peluang mengubah kebijakan dan keputusan politik negara terhadap organisasi separatis di Papua.
Dia juga menilai perubahan nama itu menunjukkan harapan adanya peran lebih dari TNI untuk menindak kelompok separatis di Papua, mengingat saat ini posisi TNI membantu Polri, misalnya dalam Satgas Damai Cartenz.
“Bagaimana pun sejauh ini kita sudah bisa melihat dengan gamblang bahwa aksi-aksi kelompok bersenjata di Papua ini ditujukan bukan sekadar untuk mengganggu keamanan, melainkan dengan tujuan memisahkan diri dari Indonesia, dan mereka juga melakukan aksi-aksi teror untuk menurunkan moril prajurit dan menakuti warga masyarakat,” kata Khairul Fahmi, yang juga co-founder ISESS. (rara-lingkar.news)