Meretas Sanad GontorE28093Mekah dari Jalur Josari

PONOROGO, Lingkar.news Pesantren di Desa Josari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, tidak bisa dipisahkan dari perjalanan keilmuan para trimurti pendiri pondok Gontor, Kyai Ahmad Sahal, Kyai Zainudi Fanani, dan Kyai Imam Zarkasyi.

Kisah sanad Gontor ini dituturkan oleh Dosen Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Khoirul Fata.

Dia menceritakan bahwa ketiga pendiri pondok Gontor itu pernah mukim dan nyantri di Josari dengan menempuh dua model pendidikan sekaligus yakni pendidikan formal di Vervolk School (sekolah Ongko Loro Jetis) pada pagi hari. Lalu selepas sekolah kembali ke pesantren mendaras kitab-kitab kuning model pemaknaan tradisional.

Perjalanan pendidikan trimurti Gontor itu tak lepas dari campur tangan ibunda, Nyai Santoso Anom, sebagai bentuk tanggung jawab sekaligus langkah taktis untuk menyiapkan ketiga putranya melanjutkan estafet pesantren Gontor yang mati suri sepeninggal sang suami Kyai R. Santoso Anom Besari.

Tekad yang kuat mengembalikan kejayaan pesantren Gontor menggelora dalam batin sang bunda. Hingga setiap kali menjenguk ketiga putranya di Josari, setiap itu pula Nyai Santoso memohon barokah doa dari kiai pengasuh agar kelak ketiga putranya fokus mengasuh pesantren, tidak tergoda menjadi pegawai.

Di Josari, trimurti dibekali pengetahuan agama level dasar dan menengah, dari tauhid, fiqih Syafi’iyyah, hadis, gramatika arab, akhlak, siroh al-barzanji dan tasawuf dasar. Namun, dari sekian fan ilmu, nampaknya ilmu tauhid dan ilmu fiqih yang paling kuat pengaruhnya dalam diri trimurti (baca : biografi Kyai Zarkasyi Dari Gontor merintis pesantren Modern).

Sebagai bukti, kitab-kitab tauhid yang menjadi referensi Kiai Zarkasyi dalam menulis buku Ushuludin Aqoid adalah kitab-kitab khas yang dikaji di pesantren salaf, di antaranya Aqidatul Awam, Qothrul Ghois, Kifayatul al-Awam, Jawahirul Kalamiyah, Ummul Barahin, Jauharut Tauhid dll. Kitab-kitab fan tauhid tersebut besar kemungkinan dikaji oleh trimurti selama mondok di Josari.

Demikian juga dengan fan ilmu Fiqh Syafi’iyah level lanjutan, seperti kitab Fathul Qorib, Fathul Mu’in (Zainuddin al-Malibari), dan I’anah al-Tholibin (sayyid Abi Bakar Syatha al-Dimyati), turut dikaji pula oleh trimurti selama di Josari.

Asumsi tersebut dibangun atas dasar keterangan Kyai Zarkasyi dalam biografinya, bahwa kitab-kitab dasar fiqih Syafi’iyyah seperti, Safinat an-Naja, Sulam Safinah dan matn al-Ghoyah wa al-Taqrib sudah dikaji di Pesantren Joresan, sebelum mondok di Josari, sehingga besar kemungkinan trimurti mengkaji kitab-kitab Syafi’iyyah level lanjutan di Josari. Dengan demikian, fiqih Syafi’iyyah trimurti Gontor memiliki transmisi sanad melalui jalur Josari dan Joresan.

Pengaruh Syafi’iyyah dalam fiqih Gontor ini bisa ditelaah dalam materi ajar Fiqih 1 dan Fiqih 2 yang ditulis sendiri oleh Kyai Zarkasyi. Demikian pula pada diktat-diktat ubudiyah santri Gontor, dimana referensinya didominasi kitab-kitab Syafi’iyah seperti I’anat Tholibin.

Bahkan anjuran mengkaji kitab Fathul Qorib, Fathul Mu’in dan I’anat Tholibin menjadi wasiat Kyai Zarkasyi yang dibacakan setiap haflatul wada’ bagi santri Gontor kelas akhir. Wasiat ini tentunya diperuntukkan bagi alumni yang ingin melanjutkan pendidikannya ke pesantren salaf.

Kembali ke pembahasan, Josari selain berperan membekali trimurti dengan pengetahuan agama yang matang, juga membuka akses untuk meretas tangga-tangga ilmu keislaman di level lanjutan. Sebab dari Josari inilah, trimurti kemudian menjelajah pesantren-pesantren besar di luar ponorogo, seperti Siwalan Panji Sidoarjo dan Termas Pacitan (Kyai Ahmad Sahal dan Zainuddin Fanani), dan Jemsaren Solo (Kyai Imam Zarkasyi).

Selain itu ada fakta menarik, bila ditelisik lebih lanjut hubungan pesantren Josari dengan beberapa pesantren di atas, maka akan tampak bahwa Josari, Siwalan Panji, Termas dan Jemsaren terikat dalam satu mata rantai sanad keilmuan.

Rantai sanad keilmuan Josari bisa terhubung dengan pesantren-pesantren besar di Jawa bahkan di Mekah melalui perantara al-Alim al-Allamah al-Arif Billah Kyai Muhammad Mansur (1831-1943).

Kyai Mansur merupakan generasi ke-7, yang memimpin pesantren dan masjid jami’ Josari tahun 1896-1943. Di masa itu lah, trimurti mondok di Josari. Artinya trimurti dididik langsung oleh Kyai Mansur dalam rentang waktu cukup lama. Istilah pesantrennya dibimbing kyai sampai khatam.

Kyai Mansur memulai pendidikannya di pesantren Josari, dibimbing langsung oleh sang ayah Kyai Na’im, pengasuh dan imam masjid Josari generasi ke-6. Kyai Na’im sendiri berasal dari Jepara, kemudian mondok di Josari dan diambil menantu oleh Kyai Muhammad Syafi’i, pengasuh dan imam masjid Josari generasi ke-4. Setelah menyelesaikan pendidikan di Josari, Kyai Mansur mengembara ke Semarang berguru ke Kyai Muhammad Sholeh bin Umar atau populer dengan nama Kyai Sholeh Darat (1820-1903).

Seperti diketahui, Kyai Sholeh Darat merupakan maha guru para ulama Nusantara, sebut saja Syaikh Mahfudz al-Turmusi (guru besar di Mekah),  Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ariy (pendiri NU) dan Kyai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Kyai Dimyati Termas (guru dari Kyai Ahmad Sahal dan Kyai Zainuddin Fanani), Kyai Idris Jemsaren Solo (guru dari Kyai Imam Zarkasyi), dll. Kebetulan, Kyai Naim (ayah Kyai Mansur) dan Kyai Sholeh Darat sama-sama berasal dari Jepara.

Selain berguru ke Kyai Sholeh Darat, Kyai Mansur juga nyantri di pesantren Demangan Bangkalan Madura, dibawah bimbingan al-Allamah Sohibul Karomah Kyai Muhammad Kholil bin Abdul Lathif atau masyhur dengan sebutan Kyai Kholil Bangkalan (1835-1925). Sosok Kyai Kholil tidak bisa dipisahkan sejarah berdirinya NU, dan Maha Guru para pendiri pesantren besar di Jawa Timur seperti Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari Tebuireng, Kyai Wahab Hasbullah Tambakberas, Kyai Abdul Karim Lirboyo, Kyai Syamsul Arifin Situbondo, Kyai Khozin Siwalan Panji, dll. Adanya informasi gotakan atau kamar santri Madura di area masjid Josari, membuktikan adanya relasi antara Josari dengan para santri Kyai Kholil di Madura.

Selain nyantri di Bangkalan, Kyai Mansur juga mengembara ilmu ke wilayah Pasuruan, tepatnya di pesantren Cangaan Bangil. Pesantren Cangaan merupakan pesantren tertua ketiga di pulau Jawa, didirikan oleh Kyai Jalaludin atau masyhur dengan sebutan Mbah Lowo Ijo. Konon, julukan Lowo Ijo merujuk pada kebiasaan Kyai Jalaludin berkholwat di dedaunan dan ranting-ranting pohon. Sumber setempat mengatakan bahwa Kyai Jalaluddin merupakan murid Sunan Bonang.

Pesantren Cangaan masyhur dengan kajian ilmu Tauhid. Ajaran Kyai Jalaluddin tentang tauhid khususnya penjabaran kalimat Laa Ilaaha Illa Allah dan sifat 3 (wajib, jaiz dan muhal) dibukukan dalam kitab Mufidul Islam. Kitab ini dibaca dan menjadi kajian santri Cangaan secara turun temurun.

Menurut info setempat (portal terafiliasi ke pesantren Cangaan), trimurti Gontor pernah bertabarruk ilmu di Cangaan. Walau info ini belum terkonfirmasi pada keluarga Gontor namun jejak Kyai Mansur mondok di Cangaan,  menjadi jalur yang menghubungkan Gontor, Josari dan Cangaan baik langsung maupun tidak.

Dari Cangaan Bangil, Kyai Mansur memperluas cakrawala pengetahuan di kota Mekah. Langkah ini ditempuh Kyai Mansur, sebagai bentuk tabarrukan ilmu dan meretas sanad keilmuan lebih luas seperti yang dilakukan oleh kedua gurunya, Kyai Sholeh Darat dan Kyai Kholil Bangkalan, dimana keduanya merupakan alumni Mekah.

Kyai Mansur bermukim di Mekah selama 4 tahun. Di kota suci ini, sanad keilmuan Kyai Mansur terhubung dengan banyak ulama besar, baik ulama timur tengah, maupun ulama Nusantara yang menjadi guru besar di Mekah. Sebut saja, Sayyid Abi Bakar Syatha al-Dimyati (pengarang kitab I’anah al-Tholibin), Syaikh Amin al-Athar, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Ahmad Khotib al-Minangkabawi, Syaikh Mahfudz al-Turmusi, dll.

Nama-nama ulama di atas berdasar pada keterangan dzuriyah Kyai Mansur, bahwa Kyai Mansur dan Kyai Dahlan ‘tunggal guru’ atau memiliki guru yang sama sebab keduanya bertemu di Mekah.

Ada dugaan kuat, selain berinteraksi dengan Kyai Dahlan, Kyai Mansur juga bertemu dengan Kyai Hasyim Asy’ariy. Sebab sepulang dari Mekah, selain mengajar dan memimpin Josari, Kyai Mansur juga terlibat dalam pendirian ormas Muhammadiyah (1921) dan NU (1930) di wilayah Ponorogo. Kyai Mansur tercatat sebagai Rois Syuriah pertama PCNU Ponorogo. Sementara di Muhammadiyah terlibat dalam perintisan, bahkan putra Kyai Mansur yang bernama Kyai Ridwan Hadjir merupakan santri Kyai Ahmad Dahlan generasi pertama. Ini menunjukkan Kyai Mansur adalah sosok figur yang berpandangan luas, anti sektarian dan penuh pengabdian.

Figur Kyai Mansur yang berwawasan luas nampaknya ikut mewarnai pandangan murid-muridnya termasuk trimurti Gontor, hingga menjadi salah motto pondok Gontor, yaitu berwawasan luas dan berpikiran bebas.

Untuk mengurai transmisi sanad trimurti Gontor, diperlukan tsabat atau catatan genealogi sanad ulama. Maka, Syaikh Mahfudz al-Turmusi lah, berperan sebagai transmiter melalui kitabnya Kifayatul Mustafidz Lima Ala Minal Asanid yang tak lain adalah guru dari Kyai Mansyur.

Adapun uraian sanad trimurti jalur Kyai Mansyur sebagai berikut :

Trimuti Gontor (Kyai Ahmad Sahal, Kyai Zainuddin Fanani, Kyai Imam Zarkasyi) belajar fiqih dari Kyai Mansur Josari (wafat 1943); Kyai Mansur berguru fiqh pada Syaikh Mahfudz Termas (1338 H); Syaikh Mahfudz berguru pada Sayyid Abi Bakar Syatho (wafat 1310 H); Sayyid Abi Bakar berguru pada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304 H), dari Syaikh Utsman bin Hasan Dimyati, dari Syaikh Abdullah as-Syarqowi, dari al-Ustadz Muhammad bin  Salim Hifni, dari Syaikh Ahmad al-Khulaifi, dari Syaikh Ahmad al-Khulaifi, dari Syaikh Ahmad al-Bisbisyi (1096 H), dari Syaikh Sulthan bin Ahmad al-Mazzahi, dari Syaikh Ali az-Ziyadi (1024 H), dari Syaikh Muhammad al-Qosriy, dari Al-Muhaqqiq Syaikh Ahmad bin Hajar al-Haitami (964),  dan Syaikh Al-Khothib Asy-Syirbini, Syaikh Ar-Romli Al-Kabir dan Syaikh Ar-Romli As-Shoghir, dari Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari (929 H), Syaikh Jalaludin al-Mahalli (864 H), dan Syaikh Jalaluddin Al-Bulqini (824 H), dan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani (852 H) dan Syaikh Syamsuddin Al-Yaquti, dari Syaikh Al-Wali Ahmad bin Abdurrahim al-‘Iraqi, dari Syaikh Abdurrahim bin Husain al-‘Iraqi (806 H), dari Syaikh Sirajuddin al-Bulqini (805 H),   dari Syaikh ‘Alauddin bin al-‘Atthar, dari Al-Imam Yahya an-Nawawi al-Dimasyqi (Muharrar al-Madzhab) (676 H), dari Syaikh Abi Hafsh (Umar bin As’ad az-Zai’i), dari Syaikh Abi Umar (Ustman bin Abdurrahman/Ibnu Shalah asy-Syahruzuri) (643 H),  dari Syaikh Abdurrahman (ayah Ibnu Shalah) (618 H),  dari  Syaikh Abi Sa’ad (Abdullah bin Abi ‘Ashrun) (585 H),  dari Syaikh Abi Ali al-Fariqi (528 H), dari Syaikh Abi Ishaq (Ibrahim Syaerozi) (476 H), dari Syaikh al-Qodhi Abi al-Thayyib (Thahir bin Abdullah al-Thabri) (450 H), dari  Syaikh Abil Hasan (Muhammad bin Ali al-Masirji) (384 H), dari Syaikh Abi Ishaq (Ibrahim bin Ahmad al-Marwazi) (340 H),  Syaikh Abil Abbas (Ahmad bin Syuraij al-Bagdadi) (306), dari  Syaikh Abil Qosim (Ustman bin Sa’id bin Basyar al-Anmathi) (288 H), dari  al-Imam Ismail bin Yahya al-Muzani (264 H), dari  al-Imam al-A’dzhom Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafii (Imam Syafi’i) (204 H), dari al-Imam al-A’dzhom    Abi Abdillah Malik bin Anas (Imam Malik) ( 179 H), dari Imam Nafi’ (117 H), dari Ibnu Umar (73 H), dari Sayyiduna Rosulullah SAW. (Lingkar Network | Lingkar.news)