Demo Tolak Revisi UU Pilkada di Jatim Massa Sempat Ricuh

SURABAYA, Lingkar.news Demo pengawalan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pencalonan Pilkada di depan Kantor DPRD Jawa Timur sempat ricuh, Jumat, 23 Agustus 2024.

Aksi ricuh berawal dari lemparan botol air mineral dari kerumunan massa unjuk rasa ke arah petugas kepolisian yang berjaga di balik kawat berduri depan gedung dewan. Kejadian ini berlangsung sekitar pukul 14.00 WIB dan membuat beberapa peserta terlibat adu dorong.

Untungnya orator dari atas mobil bisa melerai sehingga kericuhan untuk sementara dapat diredam.

“Jangan terprovokasi, jangan terprovokasi,” teriak sang orator.

Kawal Putusan Mahkamah Konstitusi, Gedung DPR/MPR RI hingga MK Dipadati Demonstran

Kericuhan diduga terjadi akibat tuntutan massa untuk menemui pimpinan anggota legislatif Jawa Timur tidak kunjung dipenuhi.

“Kami sudah tiga jam lebih di sini tapi pimpinan DPRD tak ada yang menemui kami,” ujarnya.

Unjuk rasa digelar untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi dan menolak revisi Undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

Massa memulai aksi sekitar pukul 10.00 WIB dan hingga berita ini ditulis, kegiatan demonstrasi masih berlangsung dengan penjagaan ketat aparat kepolisian.

Hingga saat ini unjuk rasa masih berlangsung di depan gedung DPRD Jatim di Jalan Indrapura Surabaya.

RUU Pilkada menuai pro dan kontra karena dinilai dibahas secara singkat pada Rabu, 21 Agustus 2024 oleh Badan Legislasi DPR RI. Pasalnya pembahasan itu dinilai tak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang diputuskan pada Selasa, 20 Agustus 2024 tentang syarat pencalonan pada Pilkada.

Sejumlah elemen masyarakat pun turun melakukan aksi di Gedung DPR RI dan MK untuk menolak rencana pengesahan RUU Pilkada pada Kamis, 22 Agustus 2024. Lalu pada Jumat, 23 Agustus 2024 massa di beberapa daerah juga kembali turun menyuarakan aspirasi.

Adapun dua putusan krusial yang dimaksud yakni Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, MK menegaskan bahwa syarat usia calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada harus terhitung sejak penetapan pasangan calon, bukan saat pasangan calon tersebut dilantik sebagai kepala daerah.

Kemudian, Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah. MK membatalkan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada dan menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat.

Lewat putusan tersebut, MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon kepala daerah. Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah bersangkutan, yakni berkisar dari 6,5 hingga 10 persen. (Lingkar Network | Anta – Lingkar.news)