SURABAYA, Lingkar.news – DPD Partai Golkar Surabaya, Jawa Timur menilai sistem proporsional terbuka dalam Pemilu lebih memberikan kemanfaatan bagi rakyat di era demokrasi modern seperti saat ini.
“Tren pemilih ke depan memilih caleg berdasarkan rekam jejak pengabdian caleg di tengah masyarakat, justru dengan situasi seperti ini partai dituntut untuk bekerja keras dalam hal kaderisasi agar bisa menyiapkan kader-kadernya untuk memenangkan hati masyarakat dalam Pemilu 2024,” kata Ketua DPD Partai Golkar Surabaya, Arif Fathoni, pada Rabu, 11 Januari 2023.
Menurutnya, ada kelemahan dan kekurangan dalam sistem proporsional terbuka. Hal ini harus menjadi lecutan semangat untuk partai politik, penyelenggaraan pemilu, dan pemerintah untuk terus menyempurnakan. Sehingga, kualitas demokrasi terus mengalami peningkatan agar tidak mengalami fase post truth democrasy.
Diperdebatkan Jelang Pemilu 2024, Ini Perbedaan Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup
Soal anggapan sistem proporsional terbuka membuat demokrasi tidak efisien, Toni panggilan akrabnya, mengatakan bahwa politik uang memang membuat demokrasi berbiaya mahal.
Untuk itu, kata Toni, partai harus terus berupaya memperbaiki rekrutmen sehingga menghasilkan kader yang berintegritas. Juga perlu upaya penegakan hukum yang masif dari pengawas pemilu bersama dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) untuk memberantas praktik politik uang yang semakin masif, sehingga menjadi hantu dalam sistem demokrasi.
Ketika disinggung bahwa proporsional terbuka membuat jeruk makan jeruk, Toni mengatakan dalam sistem saint league murni seperti saat ini, sudah tidak mentolerir kompetisi internal antarsesama kader partai karena kompetisi dalam pemilu adalah antarpartai.
Untuk itu, kata dia, Golkar Surabaya sendiri telah menyusun kode etik dan blue print kampanye yang akan dilakukan oleh seluruh caleg Partai Golkar.
Golkar Ajak PDIP Pilih Pemilu dengan Sistem Proporsional Terbuka
“Bahwa ini secara teoritis susah diaplikasikan, tentu ini menjadi pekerjaan kita semua. Lebih baik berupaya terus melakukan perbaikan dari pada sekedar berpikir mengembalikan ke sistem lama yang justru menjauhkan pemilih dengan caleg yang dipilihnya,” kata anggota Komisi A DPRD Surabaya ini.
Selain itu, Toni mengatakan bahwa, sistem proporsional terbuka memberikan peluang hubungan dialogis dan strategis antara pemilih dengan yang dipilih, tidak hanya sekedar saat pemilihan, namun pascaterpilih juga akan terus terjadi kedekatan dan komunikasi tentang bagaimana melayani daerah yang diwakilinya.
“Tanpa mengurangi independensi sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memutus permohonan perkara ini, kami berharap MK tetap berpedoman pada putusan perkara terkait pada tahun 2008, agak ironi jika kemudian ada putusan berbeda dengan objek perkara yang sama,” tuturnya. (Lingkar Network | Anta – Lingkar.news)