Surabaya, Lingkar.news – Secara legalitas, 204.807.222 pemilih tetap dalam Pemilu 2024 telah menentukan sikap secara demokratis untuk pilpres, sesuai berita acara KPU Nomor 218/PL.01.08-BA/05/2024 pada 20 Maret 2024.
Berita acara itu mencatat hasil rekapitulasi KPU bahwa pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka menjadi pemenang Pilpres 2024, dengan perolehan suara 96.214.691 dari 164.227.475 suara sah secara nasional.
Perolehan suara pasangan Prabowo-Gibran mencapai 96.214.691 suara atau 58,6 persen dari total suara sah nasional. Hasil rekapitulasi nasional itu juga dicatat KPU bahwa pasangan Prabowo-Gibran unggul di 36 provinsi.
Karena itu, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menilai gugatan hasil pemilihan presiden (pilpres) di Mahkamah Konstitusi (MK), sejatinya berlawanan dengan logika publik yang mayoritas menerima hasil pemilihan (Pilpres 2024) pada 14 Februari 2024.
Hal itu karena 89,9 persen masyarakat menerima hasil keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang secara rinci dalam survei menyimpulkan bahwa pemilih Prabowo-Gibran yang menerima hasil pemilu mencapai 93,8 persen.
Artinya, hasil Pilpres 2024 secara legalitas sudah selesai dengan capaian suara Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar sebesar 40.971.906 suara (24,56 persen), Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka sebesar 96.214.691 suara (55,97 persen), dan Ganjar Pranowo – Mahfud Md sebesar 27.040.878 suara (19,46 persen).
Hanya saja, selisih yang bukan kecil antara Prabowo-Gibran dengan Anies-Muhaimin agaknya belum memiliki legitimasi yang tuntas, meski selisih keduanya yang di atas 31 persen itu sudah menunjukkan bahwa legalitas Prabowo-Gibran sangat kuat dengan dukungan pemilih di atas 50 persen suara.
Kurangnya legitimasi dari masyarakat akademis terhadap hasil legalitas yang kuat dari masyarakat awam itu terkait proses pelaksanaan yang dipertanyakan sejak awal pencalonan.
Walhasil, para guru besar dari berbagai universitas pun menyuarakan keprihatinan, bahkan ada film yang mengkritisi, dan ada media arus utama yang menyoroti, hingga muncul sengketa yang dibawa ke ranah pengadilan.
Akhirnya, sejumlah kandidat mengajukan sengketa perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki waktu bersidang hingga 22 April 2024.
Yang menarik, MK mencatat PHPU 2024 meningkat dari PHPU 2019. PHPU 2019 mencapai 262 perkara dengan satu perkara PHPU Presiden dengan Wakil Presiden dan 261 perkara PHPU legislatif (DPR, DPD, DPRD, termasuk DPRA/DPRK).
Bingkai legitimasi
Terkait pentingnya legitimasi untuk membingkai legalitas itu, antara lain datang dari Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto.
Pada “Diskusi Media: Landmark Decision MK”, ia menyatakan pentingnya putusan hakim MK untuk perkara PHPU Pilpres 2024 tidak terpaku pada undang-undang (legalitas) semata.
Sarannya, putusan hakim harus melampaui analisis doktrinal. Artinya, hakim tidak sekadar menjadi corong undang-undang saja, karena hal itu sudah ketinggalan zaman dalam masyarakat yang sudah berubah.
MK dalam posisi sebagai penjaga gawang konstitusi harus mempertahankan konstitusi di atas hukum prosedural. Bukan hanya soal hasil suara pemilu yang menang telak, tapi mempertimbangkan UUD 1945 (Pasal 22E) yang mengamanhkan pemilu secara langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pandangan pakar politik dari sisi legalitas dan pandangan pakar hukum/antropologi dari sisi legitimasi perlu dicarikan “titik temu” atau “jalan tengah” yang mempertemukan kedua pandangan, antara legalitas dan legitimasi.
Dari sisi legalitas, pemilu perlu dilihat secara hakikat sebagai salah satu unsur demokrasi. Bahwa pemilu melibatkan jutaan orang dan menghabiskan anggaran yang besar, sehingga pemilu tidak bisa dinilai dari hasilnya semata, tapi juga prosesnya.
Secara demokrasi, parameter pemilu adalah memenuhi unsur persaingan bebas, profesionalitas penyelenggara (KPU, Bawaslu), partisipasi pemilih yang tinggi, integritas dalam pemungutan, hingga rekapitulasi suara, penyelesaian sengketa pemilu yang tepat waktu.
Artinya, terpenuhinya parameter itu sudah sangat ideal, karena itu keterlibatan seluruh unsur bangsa tidak bisa diingkari begitu saja, meski ada yang tidak sempurna dalam permainan strategi perpolitikan.
Selain itu, pemilihan umum secara legitimasi juga tetap perlu diperhatikan agar mendapatkan hasil yang ideal, seperti perlunya menepis soal bansos yang ternyata bukan menggunakan dana kemensos, melainkan dana operasional presiden, sebagaimana disampaikan sejumlah menteri yang hadir di persidangan MK, beberapa waktu lalu.
Oleh karena itu, MK perlu menyikapi persoalan hukum dalam proses pencalonan yang dianggap pelanggaran, misalnya dengan memerintahkan penataan ulang aturan main soal pencalonan dalam proses perpolitikan di Tanah Air ke depan.
Kendati pilpres kali ini dapat dianggap belum ideal, namun setidaknya Pemilu 2024 dapat menjadi pelajaran penting, bagaimana legalitas perlu membingkai legitimasi, sehingga legalitas bukan legalitas formal.
Legalitas yang memang formalitas perlu dibenahi, agar konstitusi tidak perlu melanggar etika, juga kekuasaan yang didapat tanpa perlu melanggar nalar sehat. Bingkai legitimasi dalam legalitas adalah bingkai etika dan akal sehat dalam konstitusi dan kekuasaan. Jadi, legalitas-legitimasi disandingkan, bukan dikorbankan salah satu.
Pilihan para pihak yang tidak menerima hasil pemilihan umum, khususnya untuk pemilihan presiden, merupakan jalan tengah untuk mempertemukan antara legalitas dengan legitimasi. Hasilnya diharapkan dapat meredakan suhu politik setelah pesta demokrasi, sehingga pemerintah bisa berjalan untuk tujuan memakmurkan warga. Mari kita sambut hasil putusan MK dengan sikap legawa dari semua pihak. (rara-lingkar.news)