
SEMARANG, Lingkar.news – Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah, Ida Nurul Farida, mengatakan pemerintah harus lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan, termasuk dalam hal revisi perundang-undangan.
Ida turut menyoroti perihal revisi UU TNI yang mendapat banyak komentar masyarakat. Menurutnya reaksi masyarakat sudah sadar dan kritis terkait kebijakan yang diambil pemerintah.
“Memang untuk saat ini pemerintah harus lebih berhati-hati dan mempertimbangkan banyak hal, karena sekarang ini masyarakat kritis dan punya harapan besar kepada pemerintah yang sekarang. Kalau ujung-unjungnya kembali pada masa orba (orde baru) tentu sangat mengecewakan dan negara kita yang sudah mengalami reformasi jelas akan mundur kembali,” ujarnya saat ditemui di Kantor DPRD Jateng pada, Selasa, 18 Maret 2025.
Menurut Ida, RUU TNI yang saat ini dalam pembahasan oleh Komisi I DPR RI bersama pemerintah, nampaknya telah mempertimbangkan keluhan masyarakat.
“Tentang revisi UU TNI masih dinamis ya sampai sekarang. Kalau pengajuan revisi awal yang kemarin sempat beredar dan akhirnya banyak mendatangkan protes dari berbagai kalangan, memang nada-nadanya mengarah kepada pengembalian dwifungsi tentara. Tapi dengan adanya dinamika di lapangan, kayaknya ditinjau kembali,” terangnya.
Ida memperpilihatkan bagaimana Pasal 47, yang sebelumnya memperbolehkan TNI Aktif masuk pada beberapa lembaga, dalam pembahasan yang berlangsung diusulkan prajurit TNI mengundurkan diri atau pensiun jika hendak menduduki jabatan lain.
“Perkembangan yang terbaru ini, pada pasal terebut, tadinya kan TNI aktif, yang sekarang harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajurtitan,” tandasnya.
Di sisi lain, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif PARA Syndicate dan Dosen Hubungan Internasional President University, Virdika Rizky Utama, menyatakan bahwa Revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak sekedar perubahan hukum yang bersifat administratif, namun merupakan sebuah kudeta konstitusional.
Menurutnya, aturan hukum justru menjadi alat untuk membongkar supremasi sipil dan memperkuat dominasi militer dalam pemerintahan sipil.
“Ini sesuai dengan teori David Landau dalam Abusive Constitutionalism, di mana perubahan konstitusi atau hukum dilakukan untuk merusak demokrasi dari dalam, bukan untuk memeperbaikinya,” Ujar Virdika yang juga seorang penulis buku Menjerat Gus Dur.
Rencana penempatan prajurit aktif TNI yang tetap terikat pada garis komando pada berbagai lembaga, seperti Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, BNPB, BNPT, hal ini menurutnya bukan hanya sekedar perampasan jabatan, melainkan sebuah penyusupan struktural yang akan mengkikis independesi hukum dan birokrasi sipil.
“Bagaimana mungkin seorang perwira aktif yang ditempatkan di Kejaksaan Agung dapat bertindak independen, sementara ia masih tunduk pada perintah Panglima TNI? Bagaimana mungkin Mahkamah Agung bisa menjalankan prinsip keadilan, ketika hakimnya masih terikat pada hierarki komando yang menuntut kepatuhan absolut?” tuturnya.
Sehingga, menurut Virdika bukan hanya soal jabatan dan institusi, ini adalah soal bagaimana hukum di negara ini akan ditegakkan. Jika militer memiliki kekuatan dalam sistem hukum, maka siapa yang akan mengadili mereka ketika merekamelakukan ppelanggaran.
Dia mengatakan sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa militer bukan hanya tidak tersentuh hukum, tetapi juga memiliki rekam jejak dalam mempertahankan impunitas (pembebasan dari hukum) .
Perubahan lain yang tak kalah berbahaya adalah perpanjangan masa jabatan Panglima TNI yang kini berada sepenuhnya dalam kendali Presiden. Ini adalah contoh nyata dari abusive constitutionalism, di mana hukum dimanipulasi untuk mengonsolidasikan kekuasaan, melemahkan prinsip demokrasi, dan memperkuat dominasi eksekutif atas institusi militer.
“Alih-alih memastikan profesionalisme dan netralitas TNI, perubahan ini justru menciptakan mekanisme politik yang membuat militer semakin bergantung pada kekuasaan Presiden. Dengan kendali penuh atas masa jabatan Panglima TNI, Presiden tidak hanya mendapatkan alat politik yang kuat, tetapi juga membangun sistem patronase dalam tubuh militer, di mana loyalitas tidak lagi diberikan kepada konstitusi atau kepentingan negara, melainkan kepada siapa yang memberikan mereka kekuasaan,” tegasnya. (Lingkar Network | Syahril Muadz – Lingkar.news)