
JAKARTA, Lingkar.news – Anggota DPR RI Komisi II, Deddy Yevri Hanteru Sitorus mendesak Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk mundur dari jabatan.
Deddy, dalam rapat di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis 27 Februari 2025 menyebut bahwa Pilkada 2024 merupakan pemilu terkacau.
“Sekali lagi terbukti apa yang diributkan orang selama ini, bahwa pemilu kita ini di bawah pemerintahan sebelumnya adalah pemilu paling berengsek dalam sejarah,” ucapnya lantang.
Deddy mengungkapkan alasannya bahwa menurutnya dari 545 daerah yang menyelenggarakan pilkada, 310 diantaranya penuh kekacauan. Kekacauan yang mencapai 60 persen itu terlihat dari banyaknya aduan ke Mahkamah Konstitusi.
“Kenapa saya katakan begitu? 545 daerah pilkada, oke, total putusan (MK) itu menyangkut 310 (daerah). Itu hampir 60 persen dari total pilkada kita, hampir 60 persen. Gila itu,” tegasnya.
Sambil gebrak meja, anggota fraksi PDIP tersebut mendesak agar semua petinggi-petinggi yang mengurus pemilu untuk segera mundur, tak terkecuali anggota DPR Komisi II.
Dia kemudian menyinggung soal budaya malu karena kegagalan Pilkada 2024. Desakan mundur ini, disebutkan Deddy sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara.
“Saya enggak tahu kita punya hak enggak untuk duduk lagi di ruangan ini. Kalau kita semua punya budaya malu, saya kira wajar kita mundur semua,” tegasnya.
Sontak semua anggota dewan yang hadir di ruangan tersebut ikut kaget. Namun tak ada seorang pun yang berani menginterupsi.
“KPU, Bawaslu, Mendagri, Kapolri gagal. Supaya adil, enggak apa-apa, kalau perlu kita mundur berjamaah, saya siap. Supaya sebagai tanggungjawab kita terhadap bangsa ini loh hampir 60 persen pilkadanya bermasalah,” lanjutnya.
Selain itu, Deddy juga menyinggung masalah anggaran yang harus ditanggung di daerah yang harus melakukan pemungutan suara ulang (PSU). Biaya yang harus dikeluarkan oleh pemda dan negara mencapai Rp1 triliun di tengah efisiensi.
Menurutnya hal tersebut tidak adil jika dibebankan ke daerah untuk menanggung kelalaian pemangku penyelenggaraan dan pengawasan pilkada.
“Sekarang rakyat disuruh bayar lagi Rp1 triliun buat kelalaian kita semua, yang benar aja, tanggung jawab kita di mana,” papar Deddy.
Deddy juga membeberkan sederet masalah dan kekacauan Pilkada 2024 yang dipicu dari sumber daya manusia yang tidak cakap dalam mempersiapkan hingga pelaksanaan pilkada.
“Masalah SKCK, ijazah administrasi yang tanggung jawab siapa? Masa iya urusan remeh-temeh begini ijazah palsu, masa jabatan, kayak keledai kita, berulang-ulang masuk lubang yang sama. Ini soal kualitas. Secara administratif aja kita gagal, gimana secara substantif? Ini keterlaluan. Kalau menurut saya, hampir 60 persen pilkada bermasalah,” ungkapnya.
Menurut Deddy, permasalahan Pilakada 2024 ini bukan hanya tentang anggaran, tetapi juga soal adab.
“Malu kita Pak. ini bukan cuma soal anggaran ini soal peradaban. Ini bukan soal teknis. Anggaran Kemendagri aja potong masa suruh daerah lagi potong enggak adil benar,” ucapnya.
Oleh karena itu meminta kepada pihak-pihak terkait seperti KPU, Bwaslu untuk introspeksi
“Kalau mau kita mundur bareng-bareng. Ayo mundur. Tanggung jawab sama negara ini. Saya merasa gak punya martabat jadi DPR kayak begini hasil pemilunya. Saya habis, ini menyedihkan kalau kita tidak melakukan koreksi pimpinan besok-besok jadi anggota dewan tuh perlu 50-100 miliar pimpinan. Jadi kepala daerah butuh Rp200 miliar,” pungkasnya. (Lingkar Network | Hikmatul Uyun – Lingkar.news)