Jakarta, Lingkar.news – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) meminta kepada pemerintah agar tidak mengubah skema anggaran mandatory spending sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan.
Satriwan Salim selaku Koordinator Nasional P2G dalam keterangan di Jakarta, Minggu (8/9), mengungkapkan permintaan tersebut berlandaskan konstitusi, yaitu Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945, yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.
“Dengan anggaran wajib 20 persen APBN atau setara Rp665 triliun saja biaya pendidikan masih terasa mahal bagi masyarakat. Angka 20 persen sifatnya sudah minimalis,” katanya.
Satriwan mengatakan bahwa porsi anggaran yang sekarang saja, masih terdapat 60,60 persen bangunan SD yang kondisinya rusak, lulusan SMK menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran, rata-rata lama sekolah (RLS) masih relatif rendah yakni 8,77 tahun alias bersekolah hanya setara SMP, serta rendahnya gaji guru honorer.
“Potret pendidikan nasional kita masih rendah kualitasnya, yang sedang membutuhkan keberpihakan anggaran, tata kelola yang benar-benar menjadi prioritas perbaikan, tetapi mengapa malah ingin mengurangi anggaran?” tanya dia.
Oleh karena itu, Satriwan menyebut pihaknya mendorong agar pemerintah mendesain ulang realisasi 20 persen APBN dan APBD untuk pendidikan yang berdampak secara langsung pada kualitas pendidikan, memperluas akses pendidikan, dan memperpendek disparitas.
Selain itu, pihaknya juga mendorong pemerintah untuk mengkaji ulang anggaran pendidikan pada belanja kementerian dan lembaga lain seperti sekolah kedinasan, yang angkanya mencapai Rp32,85 triliun, di mana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI pernah menyatakan bahwa pembiayaan mahasiswa di seluruh perguruan tinggi anggarannya hanya Rp7 triliun.
Terkait hal tersebut, Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri menyebut kebijakan tersebut bertentangan dengan amanat Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang menyebutkan bahwa alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN tidak termasuk biaya pendidikan kedinasan.
“Minimnya pembiayaan Perguruan Tinggi Negeri berujung pada mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa. Hasilnya, para mahasiswa terjerat pinjol,” ujarnya.
Diketahui, sebelumnya, pada Rabu (4/9), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI mengusulkan agar anggaran wajib (mandatory spending) untuk pendidikan sebesar 20 persen dari belanja negara dikaji ulang.
Sebab, ia menilai belanja wajib 20 persen seharusnya dialokasikan dari pendapatan negara, bukan belanja negara, mengingat belanja negara cenderung tidak pasti.
“Kami sudah membahasnya di Kementerian Keuangan, ini caranya mengelola APBN tetap comply atau patuh dengan konstitusi, di mana 20 persen setiap pendapatan kita harusnya untuk pendidikan. Kalau 20 persen dari belanja, dalam belanja itu banyak ketidakpastian, itu anggaran pendidikan jadi kocak, naik turun gitu,” kata Sri Mulyani. (rara-lingkar.news)