
JAKARTA, Lingkar.news – Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara Terhadap Jaksa Dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia pada Rabu, 21 Mei 2025, tepat 27 tahun sejak lengsernya Soeharto.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, mengkritik dan menilai bahwa Perpres 66/2025 tidak urgent dan tak dibutuhkan.
“Dalam sistem presidensial, tanpa ada Perpres 66/2025, Presiden sesungguhnya bisa memerintahkan Jaksa Agung untuk memperkuat sistem keamanan internal yang dimiliki kejaksaan dan atau dapat meminta kepolisian untuk terlibat dalam bantuan pengamanan,” kata Isnur dalam keterangan pers yang diterima Lingkar.news, Jumat, 23 Mei 2025.
Hingga kini, lanjutnya, belum ada realitas ancaman yang nyata terhadap keamanan nasional terkait kondisi kejaksaan yang mengharuskan Presiden Prabowo membuat perpres.
“Kondisi kejaksaan masih dalam keadaan normal menangani kasus-kasus hukum yang ada. Tidak ada ancaman militer yang mengharuskan Presiden atau Panglima TNI mengerahkan militer (TNI) ke kejaksaan. Maka itu, Perpres 66/2025 tidak memiliki urgensi dan tidak proporsional dalam hal pelibatan TNI,” jelas Isnur.
Koalisi memandang, sambung Isnur, lahirnya Perpres tak bisa dilepaskan dari masalah Surat Telegram Panglima/KASAD yang mengerahkan hampir 6.000 personel TNI ke Kejaksaan.
“Perpres 66/2025 adalah bentuk kamuflase hukum atas kesalahan Panglima yang melakukan pengerahan pasukan TNI ke Kejaksaan. Ini karena Perpres 66/2025 lahir setelah diterbitkan Telegram KASAD yang dipenuhi banyak permasalahan,” tambahnya.
Isnur mengatakan penerbitan Perpres 66/2025 ini adalah model politik fait accompli yang sama sekali tak sehat dan berdampak buruk bagi demokrasi.
Seharusnya, kata Isnur, yang dilakukan Presiden adalah mencabut surat telegram tersebut.
“Bukan malah membentuk Perpres 66/2025. Dalam konteks ini Presiden seolah-olah sedang membenarkan kesalahan Panglima TNI dengan jalan menerbitkan Perpres 66/2025,” tukasnya.
Koalisi menilai praktik kekuasaan dalam menjalankan hukum yang demikian akan berdampak buruk pada negara hukum dan demokrasi. Sebab, kesalahan hukum bukannya dikoreksi, tapi justru dilegalisasi.
Isnur menjelaskan bahwa praktik politik semacam ini sebelumnya pernah dilakukan di kasus Pengangkatan Letkol Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet.
“Kesalahan mengangkat Letkol Teddy sebagai Seskab pada 21 Oktober 2024 justru diikuti dengan perubahan kebijakan dalam bentuk terbitnya Perpres 148/2024 tanggal 05 November 2024 tentang Kementerian Sekretariat Negara yang melegalisasi jabatan Seskab dapat diisi oleh prajurit TNI aktif,” ungkapnya.
Koalisi memandang, penerbitan Perpres 66/2025 membuka ruang kembalinya dwifungsi TNI.
“Perpres 66/2025 membawa militer masuk jauh ke wilayah sipil, yakni ke kejaksaan. Padahal kejaksaan adalah aparat penegak hukum yang melaksanakan kewenangan penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan UU,” jelasnya.
Sedangkan, TNI secara tegas dan jelas, merupakan alat pertahanan negara yang diatur di dalam konstitusi.
“Kegagalan untuk memisahkan penegakan hukum (urusan dalam negeri) dan urusan pertahanan adalah langkah nyata membangkitkan dwifungsi TNI itu sendiri,” ujarnya.
Koalisi juga memandang, Perpres 66/2025 tak menjadikan UU TNI atau UU Polri sebagai rujukan pembentukan di dalamnya. Padahal, substansi perpres banyak mengatur tentang pelibatan TNI dan Polri dalam pengamanan Kejaksaan.
Isnur mengakui bahwa konsideran Perpres 66/2025 hanya mencantumkan Pasal 4 Ayat (1) UUD NKRI 1945 sebagai dasar hukum pembentukan perpres.
Sehingga, kata dia, perpres ini tak menunjukkan kejelasan tentang pengerahan pasukan TNI dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti diatur dalam Pasal 7 UU TNI.
“Perpres 66/2025 sama sekali tidak menjelaskan jelas kategori OMSP yang dijadikan dasar keterlibatan TNI. Mengingat, ketentuan Pasal 7 UU TNI hanya membatasi OMSP ke dalam 16 jenis. Sedangkan melindungi tugas dan fungsi Kejaksaan, tidak termasuk di dalam 16 jenis OMSP tersebut,” kata Isnur.
Menurutnya, hal itu menimbulkan potensi penyalahgunaan kekuatan militer. Pasalnya, tidak ada pembatasan jelas dan tegas tentang ruang gerak TNI itu sendiri.
Koalisi juga menilai, Perpres 66/2025 tak sesuai ketentuan hukum. Sebab, menempatkan TNI melampaui ketentuan yang diatur dalam UU.
Merujuk Penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2025 bahwa yang dimaksud dengan “jabatan pada Kejaksaan Republik Indonesia” adalah jabatan pada Kejaksaan Republik Indonesia di bidang pidana militer.
“Sehingga keterlibatan TNI dalam tubuh Kejaksaan hanya terbatas pada bidang pidana militer. Bukan melebar hingga mencakup ranah pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan lainnya,” tambahnya.
Koalisi menilai, penerbitan Perpres 66/2025 tidak urgent dan tidak dibutuhkan untuk saat ini.
“Sekalipun presiden memiliki kewenangan membentuk Perpres, tapi pembentukan Perpres tetap harus diletakkan dalam tata pembentukan perundang-undangan yang benar,” tambahnya.
Jurnalis: Ceppy Febrinika Bachtiar
Editor: Rosyid